Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax Gravenhorst, 1829) White-Lipped Tree Frog

Umum dijumpai di habitat dekat manusia seperti perkotaan dan pedesaan. Penamaan katak ini kemungkinan karena keberadaan garis pada bagian atas tubuh yang berwarna gelap, meskipun kadangkala ada individu yang tidak memiliki garis tersebut. Indi-vidu dewasa umumnya berwarna coklat kekuningan, dengan satu warna atau bintik hitam. Katak dewasa memiliki enam atau empat garis longitudinal yang jelas memanjang dari kepala sampai ujung tubuh (Iskandar1998) sedangkan individu muda mem-iliki warna tubuh yang pudar. Ciri-cirinya yaitu jari tangan dan jari kaki melebar dengan ujung rata, kulit kepala menyatu dengan tengkorak, jari tangan setengahnya berselaput, jari kaki hampir sepenuhnya berselaput serta pada berudunya terdapat ciri khas berupa bintik putih di bagian moncong (Kusrini 2013). Menurut Hass dan Das (2009) ukuran panjang moncong hingga dubur jantan dewasa adalah 50 mm dan betina 70 mm, sedangkan berudu memiliki panjang tubuh 40-50 mm. Suku Rhacophoridae hidup secara arboreal yaitu di vegetasi dekat dengan sumber air (permanen atau temporer). Pada saat berkembang biak, telur akan disimpan di sarang busa yang berada di permukaan kolam air, vegetasi atau ranting (Hass dan Das 2009). Katak pohon bergaris dapat ditemukan hingga ketinggian 1500 m dpl. Ketinggian tempat dapat berpengaruh pada variasi mofometri katak ini. Di Sumatera Barat katak pohon bergaris di daerah ketinggian di atas 1000 m dpl memiliki ukuran karakter kepala dan karakter ektremitas yang lebih panjang dari populasi di bawah 1000 m dpl (Addaha et al. 2014). Katak pohon bergaris tersebar si Bangla-desh, Brunei Darussalam, Kamboja, Cina, India, Malaysia, Myanmar, Nepal, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam dan Indonesia (Bali, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan diintroduksi di Papua) (Diesmos et al. 2004). Diduga katak pohon bergaris merupakan jenis cryptic. Hasil penelitian morfologi menunjukkan bahwa jenis yang dianggap se-bagai P. leucomystax di Sulawesi merupakan jenis berbeda dan diberi nama P. iskandari.

Sumber pustaka:

Addaha H, Tjong DH, Novarino W. 2014. Variasi morfologi katak pohon bergaris Polypedates leucomystax Gravenhorst 1829 (Anura: Rha-cophoridae) di Sumatera Barat. Jurnal of Natural Science. 4(3): 348-354.

Diesmos AC, Alcala A, Brown R, Afuang LE, Gee G, Sukumaran J, Yaakob N, Ming L, Chuaynkern Y, Thirakhupt K, Das I, Iskandar D, Mumpuni, Inger RF, Stuebing R, Yambun P, Lakim M. 2004. Polypedates leucomystax. (errata version published in 2016) The IUCN Red List of Threatened Species 2004: e.T58953A86477485.

Haas A, Das I. Editor. 2009. Frogs of Borneo: The frogs of East Malaysia and their Larva forms.

Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali-seri panduan lapangan. Puslitbang LIPI. Bogor.

Kusrini MD. 2013. Panduan bergambar indentifikasi amfibi Jawa Barat. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB dan Direktorat Konservasi Keane-karagaman Hayati.

Penulis: Heru Kurniawan dan Mirza D Kusrini

Posted in Amfibi Reptil Kita | Leave a comment

Ular Siput (Pareas carinatus Boie, 1828) / Keeled Slug-eating Snake

Ular kecil dari anggota famili Colubridae ini dinamakan ular siput karena mangsa utamanya adalah jenis siput-siput kecil dan juga karena gerakannya yang lamban seperti mangsanya tersebut. Ular siput biasa ditemukan di hutan-hutan yang basah seperti dekat sungai. Menurut (David dan Vogel 1996) ular siput dapat ditemukan di perkebunan dan desa-desa yang berdekatan dengan hutan. Spesies ini adalah satwa yang aktif pada malam hari dan sebagian besar beraktivitas di atas vegetasi (arboreal). Ular kecil ini memiliki tubuh ramping, cenderung kurus dan panjang tubuh sekitar 60 cm, warnanya coklat kusam, coklat muda atau coklat agak kekuningan di sisi sebelah atas dengan belang-belang hitam yang tipis dan samar-samar di sepanjang tubuhnya, kecuali pola “X” memanjang berwarna hitam di atas tengkuk. Bagian bawah tubuh berwarna kuning atau kekuningan dengan bintik-bintik halus gelap atau kemerahan. Kepala besar dengan moncong tumpul dengan mata berukuran relatif besar. Ular ini tidak berbisa, bahkan tak bisa menggigit manusia. Akan tetapi perilakunya ketika merasa terancam mirip dengan ular berbisa, bagian tubuh melengkung membentuk huruf “S” untuk menakut-nakuti pengganggu. Ular siput tersebar luas di Asia Tenggara mulai dari Brunei Darussalam, Kamboja, China (Yunnan), Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Thailand dan Vietnam.

Sumber pustaka:

David P. dan Vogel G. 1996. The Snakes of Sumatra: an annotated checklist and key with natural history notes. Edition Chimaira.

Wogan G dan Vogel G. 2012. Pareas carinatus. The IUCN Red List of Threatened Species 2012: e.T192235A2059305. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2012-1.RLTS.T192235A2059305.en.

Penulis: Heru Kurniawan

Posted in Amfibi Reptil Kita | Leave a comment

Katak Pohon Mutiara (Nyctixalus margaritifer Bounglenger, 1882) Pearly Tree Frog

Nyctixalus margaritifer adalah salah satu katak pohon cantik yang ditemukan di Indonesia dengan status konservasi rentan (Vulnerable) menurut IUCN Red List. Sebarannya dinyatakan terbatas di Jawa Barat meliputi Gunung Gede-Pangrango, Gunung Halimun-Salak, Situ Gunung, dan Gunung Putri, dan di Jawa Timur (Gunung Wilis). Tetapi menurut studi Tim Green Community UNNES, Katak Pohon Mutiara dijumpai juga di Banyuwindu, Gunung Ungaran (Jawa Tengah) sedang berada diatas tumbuhan polong-polongan sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS). Katak dari famili Rhacophoridae (katak pohon) ini dinamakan “mutiara” berdasarkan adanya bintik-bintik putih di sekujur tubuhnya yang sekilas mirip mutiara. Habitat Katak Pohon Mutiara adalah hutan hujan tropis primer di dataran rendah dengan ketinggian sekitar 700 m dpl. Ditemukan di atas daun-daun semak yang tingginya sekitar satu meteran dari lantai hutan dan tidak jauh dari genangan air. Ancaman terbesar terhadap kelestarian Nyctixalus margaritifer adalah penurunan dan hilangnya habitat yang diakibatkan oleh berbagai kegiatan pertanian dan pene-bangan kayu. Hal ini terkait erat dengan rendahnya daya toleransi Katak Pohon Mutiara terhadap perubahan habi-tatnya.

Sumber pustaka:

Djoko Iskandar, Mumpuni. 2016. Theloderma margaritifer. The IUCN Red List of Threatened Species 2016: e.T58804A89373345. http://www.gcbiounnes.org/2015/06/katak-pohon-mutiara-nyctixalus.html

Penulis Heru Kurniawan

Posted in Amfibi Reptil Kita | Leave a comment

Percil Jawa (Microhyla achatina Tschudi, 1838) / Javan Chorus Frog

Microhyla achatina merupakan katak berukuran kecil (dewasa ukuran moncong sampai dubur tidak lebih dari 30 mm)(Iskandar 1988). Jenis ini khas karena kepala dan mulut sempit seperti segitiga bila dilihat dari atas. Matanya kecil dan bila bersuara bernada sangat tinggi. Sepasang garis gelap terdapat di punggung dengan tekstur kulit halus tanpa bintil-bintil. Warna coklat kekuningan dengan dengan garis kehitaman, sisi lebih gelap, kadang-kadang terdapat garis vertebral tipis dan kecil. Jari-jari kaki berselaput renang pada dasarnya (Kusrini 2013). M. achatina dapat ditemukan disekitar kolam atau danau yang pinggirannya terdapat rumput dan agak lembab serta di hutan (primer dan sekunder). Katak ini juga bisa bertahan dalam jumlah kecil di ladang pertanian dan perke-bunan yang tidak jauh dari air. M. achatina bertelur di genangan air, sungai berarus lambat dan pinggir kolam (Iskandar dan Mumpuni 2004). Jenis ini di dalam daftar merah IUCN, termasuk ke dalam Least Concern (LC). Spesies ini tercatat ditemukan hanya dari bagian tengah dan Barat dari pulau Jawa. Baru-baru ini ditemukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di ujung selatan Sumatera, Indonesia (Iskandar dan Mumpuni 2004).

Sumber pustaka:

Iskandar DT. 1988. Amfibia Jawa dan Bali. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI.

Iskandar DT, Mumpuni. 2004. Microhyla achatina. The IUCN Red List of Threatened Species. 2004:e.T57873A11696337. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.200 4.RLTS.T57873A11696337.en.

Kusrini MD. 2013. Panduan Bergambar Indentifikasi Amfibi Jawa Barat. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB dan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati.

Penulis: Rizky Nugraha

Posted in Amfibi Reptil Kita | Leave a comment

Tokek (Gekko gecko Linnaeus, 1758) / Tokay Gecko

Gekko gecko yang memiliki suara khas “ tokek….tokek…tokek” merupakan salah ciri dari jenis ini, sehingga jenis ini disebut Tokek. Jenis ini memiliki cukup banyak nama daerah, menurut Departemen Kehutanan (2009) nama daerah Gekko gecko adalah tokek biasa, tokek rumah (Bahasa Indonesia), tokek (Sunda), teko, tekek (Jawa) dan tokkek (Sulawesi). Tokek memiliki warna yang khas yaitu warna yang mencolok dengan bintil-bintil kekuningan dan kemerahan yang tersebar di seluruh tubuh, serta warna dasar abu-abu keputihan. Menurut (Boulenger 1912) Tokek merupakan salah satu spesies dari famili Gekkonidae yang memiliki ukuran tubuh paling besar dibandingkan yang lainnya. Panjang tubuhnya mencapai 250 mm dengan panjang tubuh maksimal 350 mm (McKay 2006). Tokek hidup di pohon baik di hutan, kebun, maupun di pekarangan rumah serta dapat hidup berdampingan dengan manusia dengan cara menempel di dinding-dinding rumah atau bagian atas atap rumah. Jenis ini biasanya aktif dimalam hari untuk mencari makan berupa serangga dengan ukuran yang lebih kecil. Tokek peliharaan dapat memakan vertebrata kecil seperti burung, reptil, dan hewan pengerat seperti tikus (Bucol dan Alcala 2013). Persebarannya dari Timur Laut India ke Nepal dan Bangladesh, Myanmar, Thailand, Indochina, Cina Selatan, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Kepulauan Indo-Australasia Timur (Aowphol et al. 2006; Norval et al. 2011 dalam Bucol dan Alcala 2013). Di Indonesia persebaranya meliputi Sumatera, Bangka Belitung, Jawa, Madura, Lombok, Kalimantan, Sumba, Flores, Sulawesi, dan kepulauan Aru (Rooij 1915).

Sumber pustaka:

Boulenger GA. 1912. A Vertebrate Fauna of The Malay Peninsula. London: Taylor and Francis. Red Lion Court. Fleet Street.

Bucol A dan Alcala A. 2013. Tokay gecko, Gekko gecko (Sauria: Gekkonidae) predation on juvenile house rats. Herpetology Notes. 6: 307 308.

Departemen Kehutanan. 2009. Statistik Ekpor-Impor Hutan, Ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar, Penerimaan Negara dari Perdagangan Tum-buhan dan Satwaliar ke Luar Negeri serta Kontribusi Subsektor Kehutanan terhadap PDB. Triwulan I. Tabel 14 hal 77-87. Jakarta: Depar-temen Kehutanan.

McKay JL. 2006. Reptil dan Amphibi di Bali. Krieger: Publishing company.

Rooij ND. 1915. The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago I. Lacertilia, Chelonia Emydosauria with 132 illustrations. Leiden (NL): Brill EJ Ltd.

Penulis: Heru Kurniawan

Posted in Amfibi Reptil Kita | Leave a comment

Katak Sawah (Fejervarya limnocharis Gravenhorst, 1829) / Asian Grass Frog

Dikenal dengan katak yang umum ditemukan di sawah dan tegalan, jenis ini menyebar luas di Indonesia, Malaysia, Laos, Myanmar, Thailand Selatan dari tanah genting Kra, Kamboja, dan Vietnam Utara ke perbatasan Cina (tetapi tidak tercatat dalam negara tersebut) (Frost 2016). Namun demikian, beberapa katak yang tadinya di-anggap sebagai Fejervarya limnocharis sekarang dikeluarkan dari jenis ini dan dianggap sebagai jenis terpisah yai-tu Fejervarya iskandari. Ciri-ciri F. limnocharis adalah berukuran kecil (betina dewasa ukuran SVL jarang melebi-hi 3 cm), kepala runcing dan pendek dengan tekstur kulit berkerut yang tertutup oleh bintil-bintil panjang yang tampak tipis. Bintil-bintil ini biasanya memanjang, paralel dengan sumbu tubuh. Ujung jari tangan tumpul dan tidak melebar. Jari tangan pertama lebih panjang dari yang kedua. Ciri paling khas bila dibandingkan dengan katak hijau F. cancrivora adalah selaput antar jari kaki belakang yang tidak penuh (Kusrini 2013). F. limnocharis ditemukan di area terbuka seperti tipe habitat basah, termasuk banjir sungai, daerah basah pertanian seperti sawah, parit, rawa, taman, kebun dan habitat lain dan di ditutup-kanopi hutan (meskipun ini jarang di beberapa daerah). Tempat untuk berkembang biak larva berlangsung di habitat lahan basah (Frost 2016). Ancaman utama jenis ini adalah penggunaan bahan kimia pertanian, khusus aplikasi pestisida, pengeringan area lahan basah dan kekeringan yang berkepanjangan sehingga jenis ini dapat mengalami kelainan morfologi atau cacat akibat kontaminasi bahan kimia (van Dijk et al 2004).

Sumber pustaka:

van Dijk PP, Iskandar D, Inger RF, Lau MWN, Ermi Z, Baorong G, Dutta S, Manamendra-Arachchi K, de Silva A, Bordoloi S, Kaneko Y, Matsui M & Khan MS. 2004. Fejervarya limnocharis. (errata version published in 2016) The IUCN Red List of Threatened Species 2004: e.T58275A86154107. Downloaded on 12 January 2017.

Frost DR. 2016. Amphibian Species of the World; an Online Reference. Version 6.0 [internet]. [diacu 28 Desember 2016]. Tersedia dari: http://research.amnh.org/herpetology/amphibian/index.html.

Kusrini MD. 2013. Panduan Bergambar Indentifikasi Amfibi Jawa Barat. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB dan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati.

Penulis: Heru Kurniawan

Posted in Amfibi Reptil Kita | Leave a comment

Kadal Kebun (Eutropis multifasciata Kuhl, 1820) / Many-Lined Sun Skink

Eutropis multifasciata atau yang sering disebut Bengkarung merupakan jenis kadal yang paling umum dijumpai di lantai hutan atau pekarangan rumah dan kebun yang ditutupi serasah daun. Oleh karena itu jenis ini juga sering disebut kadal kebun. Kadal kebun biasanya dijumpai saat sedang berlari atau berjemur dibawah sinar matahari. Kadal merupakan hewan poikiloterm yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh lingkungan. Das (2010) menyebutkan bahwa kadal menaikan suhu tubuhnya dengan berjemur pada pagi hari hingga siang hari untuk menyeimbangkan metabolisme tubuhnya. Kadal kebun merupakan salah satu jenis kadal dari Famili Scincidae yang hidup terestrial dan aktif pada siang hari. Periode aktivitas harian kadal E. multifasciata berlangsung sepanjang hari selama intensitas cahaya matahari masih ada (Kurniati 1997). Kondisi serasah yang tebal serta batang kayu yang telah mati menjadikan habitat yang cocok untuk Famili Scincidae (Cox et al. 1998 & Goin 1971). Kadal kebun dapat memakan berbagai jenis invertebrata dan dapat berasosiasi disekitar tempat ting-gal manusia maupun daerah terganggu (Cox et al. 1998). Eutropis multifasciata memiliki persebaran yang luas diantaranya India, China Selatan, Taiwan, Myanmar, Thailand, Indochina, Filipina, Indonesia, Singapura, Malaysia dan New Guinea. Menurut Rooij (1915) penyebaran kadal kebun di Indonesia meliputi seluruh kepulauan dan pada dataran rendah sampai ketinggian 1200 mdpl.

Sumber pustaka:

Cox MJ, van Dijk PP, Nabhitabhata J, Thirakhupt K. 1998. A Photographic Guide to Snakes and Other Reptils of Peninsular Malaysia, Singapore and Thailand. London, Sidney, Singapore: New Holland Publishers Ltd.

Das I. 2010. Reptiles of South-East Asia. New Holland Publishers. UK.

Goin CJ, Goin OB. 1971. Introduction to Herpetology. Second Edition. San Francisco (US): Freeman.

Kurniati H. 1997. Aktivitas Harian Kadal Mabuya multifasciata dan Kadal Tachydromus sexlineatus yang Hidup Simpatrik di Perkebunan Kakao (Reptilia: Lacertilia). Puslitbang Biologi-LIPI. Berk. Penel. Hayat 3: 65-72.

Rooij ND. 1915. The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago I. Lacertilia, Chelonia Emydosauria with 132 illustrations. Leiden (NL): Brill EJ Ltd.

Penulis: Heru Kurniawan

Posted in Amfibi Reptil Kita | Leave a comment

Ular Tambang (Dendrelaphis pictus Gmelin, 1789) Common Bronze-back

Dendrelaphis pictus disebut juga ular lidah api karena memiliki lidah berwarna merah seperti api. Ang-gota genus Dendrelaphis merupakan ular yang ramping, tidak berbisa, aktif pada siang hari (diurnal) yang didominasi arboreal dan pakan terutama pada kadal dan amfibi (Vogel dan van Rooijen 2008). Salah satu cara pertahanan D. pictus adalah mengeluarkan bau menyengat seperti aroma terasi untuk menghindari predator atau manusia. Dendrelaphis pictus memiliki ciri dengan dorsum kebiruan, warna putih lateral berbatasan dengan garis hitam di moncongnya. Warna putih lateral berbatasan dengan garis hitam mungkin merujuk kepada garis ven-trolateral cahaya dan berdampingan garis-garis hitam garis berwarna kuning pada dua baris pertama sisik tubuhnya (Vogel dan van Rooijen 2008). Distribusi Dendrelaphis pictus di sepajang semanjung malaya, India, Myanmar, Malaysia, untuk Indonesia ditemukan di pulau Sumatera, Jawa dan Komodo (Stuebing dan Inger 1999).

Sumber pustaka:

Stuebing RB, Inger RF. 1999. A Field Guide to the Snakes of Borneo. Kota Kinabalu: Natural History Publications

Vogel G, van Rooijen J. 2008. Contributions to a review of the Dendrelaphis pictus (Gmelin, 1789) complex – 2. the eastern forms (Serpentes: Colubridae). Herpetozoa. 21 (1/2): 3 – 29.

Penulis: Rizky Nugraha

Posted in Amfibi Reptil Kita | Leave a comment

Kodok Buduk (Duttaphrynus melanostictus Schneider, 1799) Asian Common Toad

Kodok buduk merupakan salah satu jenis amfibi dari Famili Bufonidae. Bufonidae merupakan jenis kodok sejati dengan ciri-ciri ukuran tubuh yang besar, permukaan kulit yang kasar serta terdapat benjolan-benjolan hitam yang tersebar di hampir seluruh bagian tubuh. Kodok buduk memiliki ciri-ciri moncong yang runcing, alur supraorbital yang bersambung dengan alur supratimpanik dan tidak memiliki alur parietal, kelenjar paratoid yang berbentuk elips, jari tangan dan jari kaki tumpul, jari kaki terdapat selaput yang melebihi setengah jari, terdapat juga bintil metatarsal yang bagian luarnya lebih kecil dari bagian dalamnya, memiliki ukuran sedang hingga besar dengan panjang mulai dari ujung moncong sampai dubur melebihi 80 mm (Kusrini 2013). Duttaphrynus melanostictus merupakan jenis kodok yang sangat umum ditemukan. Habitat kodok buduk yaitu dataran rendah yang terganggu, lahan pertanian, pemukiman hingga wilayah perkotaan. Jenis ini biasa ditemukan di atas tanah (Terestrial) atau bersembunyi di bawah penutup tanah seperti batu, serasah, dan pohon tumbang. Menurut IUCN Red List jenis ini memiliki status konservasi berisiko rendah karena sangat umum ditemukan, persebaran yang luas, serta sangat toleran terhadap perubahan habitat. Persebaran kodok buduk meliputi Pakistan Utara melalui Nepal, Bangladesh, India (Andaman dan Pulau Nicobar), Sri Lanka, Cina Selatan (Taiwan, Hongkong dan Macau), Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Kamboja, Malaysia, Singapura, Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Pulau Anambas dan Pulau Natuna, Bali, Sulawesi, Ambon, Manokwari,) New Guinea (bagian timur laut Semenanjung Vogelkop, berpusat di Manokwari). Telah tercatat dari permukaan laut hingga 1.800 m dpl.

Sumber pustaka:

van Dijk PP, Iskandar D, Lau MWN, Huiqing G, Baorong G, Kuangyang L, Wenhao C, Zhigang Y, Chan B, Dutta S, Inger

RF, Manamendra-Arachchi K & Khan MS. 2016. Duttaphrynus melanostictus. The IUCN Red List of Threatened Species

2016: e.T54707A86445591.

Kusrini MD. 2013. Panduan Bergambar Identifikasi amfibi Jawa Barat. Bogor (ID): Pustaka Media Konservasi

Penulis: Heru Kurniawan

Posted in Amfibi Reptil Kita | Leave a comment

Ular Viper Tanah (Calloselasma rhodostoma Boie, 1827) / Malayan Pit Viper

Calloselasma rhodostoma merupakan jenis ular berbisa neurotoksin (menyerang saraf)yang aktif pada malam hari. Hewan ini dapat ditemukan pada permukaan tanah, di tempat yang lembab, termasuk tumpukan kayu, tumpukan sampah, dan di bawah rumah (Hill et al 2006). C. rhodostoma cenderung diam di tempat dan akan menggigit orang yang mendekati. Oleh karena itu jumlah gigitan akibat ular ini diperkirakan cukup tinggi. Mangsa utama C. rhodostoma merupakan kadal, burung, tikus dan kodok. Di Indonesia, serum anti bisa ular poli-valen yang dikeluarkan biofarma meliputi anti bisa jenis ini. Ancaman utama C. rhodostoma adalah hilangnya habitat yang berubah fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman. C. rhodostoma tersebar luas sepan-jang Asia Tenggara, untuk wilayah Indonesia baru tercatat ditemukan di pulau Jawa (Grismer & Chan-Ard 2012).

Sumber pustaka:

Grismer L, Chan-Ard T. 2012. Calloselasma rhodostoma. The IUCN Red List of Threatened Species 2012: e.T192168A2050205. [terhubung berkala]. http://dx.doi.org/10.23 05/IUCN.UK.20121.RLTS.T192168A2050205.en. Diakses pada 08 Maret 2017.

Hill JG, Thirakhupt K, Chanhome L, Artchawakom T, Voris HK. 2006. Nest attendance by a female malayan pit viper (Calloselasma rhodostoma) in Northeast Thailand. The Natural History Journal of Chulalongkorn University. 6(2): 57-66.

Penulis: Rizky Nugraha dan Mirza D Kusrini

Posted in Amfibi Reptil Kita | Leave a comment